Minggu, 16 Juni 2013

Artikel Ilmiah Keperawatan

Perawatan Demensia Dengan Robot Binatang

Oleh :

Muhammad Rozikhin
201233040


ABSTRAK

Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif yang menyebabkan deteriorasi kognitif dan fungsional, sehingga mengakibatkan ganggua fungsi sosial, pekerjaan, dan aktivitas sehari-hari. Dalam pemahaman juga mundur seperti hilangnya kemampuan untuk memahami pembicaraan yang cepat, percakapan yang kompleks atau abstrak, dan humor yang sarkatis atau sindiran. Robot Binatang (Animal Robot) yang memiliki peranan penting pada keperawatan pasien dengan demensia. Salah satu perawatan pasien dengan demensia adalah dengan meningkatkan lingkungan yang stabil melalui upaya komunikasi dengan kebutuhan dan kenyamanan pasien demensia. Robot binatang (Animal Robot) yang pertama kali diciptakan adalah Robot jenis hewan peliharaan kucing dan anjing. Kedua robot ini dapat berinteraksi dengan para penderita demensia sesuai dengan apa yang dilakukan. Untuk Robot Anjing memiliki sembilan sensor yang dapat melakukan enam perintah yang dilakukan. Hewan peliharaan robot dapat menjadi pengganti yang cocok untuk hewan peliharaan yang tampak dapat meningkatkan komunikasi dan kepercayaan diri pada penderita demensia.
Kata Kunci : Robot Binatang (Animal Robot), Demensia, dan Komunikasi.

Latar Belakang
Demensia adalah hilangnya ingatan yang bisa timbul bersama dengan gejala gangguan perilaku maupun psikologis. Gambaran paling awal berupa hilangnya ingatan mengenai peristiwa yang baru berlangsung. Terdapat gangguan kepribadian global bersama dengan berkembangnya perilaku abnormal secara bertahap, hilangnya intelektual, perubahan mood biasanya tanpa pemahaman, tumpulnya emosi, dan gangguan kognitif disertai ketidakmampuan untuk belajar.
Prevelensi demensia pada tiap-tiap negara berbeda-beda. Ini disebabkan karena tidak adanya gold standard untuk mendiagnosis demensia, ada perbedaan sosial kultural pada tiap-tiap negara yang mengakibatkan perbedaan dari hasil pemeriksaan. Tatemichi, Et all (1990) melaporkan prevelensi demensia pascastroke di Jepang mencapai angka 26,3%. Pohjasvaara (1997) melaporkan perevelensi demensia pascastroke di Indoia mencapai 31,8%. Roman (2002) melaporkan prevelensi demensia pascastroke di berbagai negara sebesar 21-45%. Angka prevelensi demensia vaskuler khusus pascastroke di Indonesia belum ada. Namun laporan Markam (2001) untuk Daerah Istimewa Yogyakarta didapatkan angka perevelensi demensia pascastroke 23,3%.
Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa populasi berusia diatas 65 tahun telah meningkat 2,8 kali pada tahun 2000 dibanding tahun 1950. Saat ini diperkirakan ada 750.000 penderita demensia di Inggris dan 3 hingga 4 juta penderita demensia di Amerika Serikat. Biaya kesehatan untuk golongan lansia merupakan proporsi terbesar dari seluruh biaya kesehatan (30 hingga 40%). Demensia terjadi pada 1,4% pada usia 65 hingga 69 tahun, 2,8% pada usia 70 hingga 74 tahun, 5,6% pada usia 75 hingga 79 tahun, 5,8% pada usia 80 hingga 84 tahun, 14,4% pada usia lebih dari 85 tahun.
Demensia yang biasanya ditandai oleh gangguan daya ingat, kesulitan melakukan aktivitas sederhana, masalah berbicara atau berbahasa, disorientasi, penampilan buruk, kesulitan dalam melakukan hitungan sederhana, dan hilangnya minat dan inisiatif menjadi hal yang harus diperhitungkan dalam merawat pasien dengan kondisi rumah, menyiapkan keluarga, dan support system di lingkungan.
Untuk menangani hal di atas, perawat umumnya menasehati keluarga untuk memberikan lingkungan yang stabil, meminimalkan konfusi, memberikan isyarat sensori, memberikan informasi yang sederhana dan sikap positif dan menyesuaikan tugas yang diberikan sesuai dengan keadaan fungsi pasien. Pasien dapat juga berespon terhadap pesan-pesan dari anggota keluarga yang ada pada kaset, beberapa kaset berisi suara keluarga yang diberikan kepada pasien dan tindakan ini dapat menurunkan agitasi.
Perkembangan teknologi saat ini sangat berkembang pesat dengan adanya penemuan-penemuan di bidang teknologi, salah satunya adalah Robot Binatang (Animal Robot) yang memiliki peranan penting pada perawatan pasien dengan demensia. Salah satu perawatan pasien dengan demensia adalah dengan meningkatkan lingkungan yang stabil melalui upaya komunikasi disesuaikan dengan kebutuhan dan kenyamanan pasien demensia. Hilangnya minat dan inisiatif membuat pasien demensia mengalami penurunan interaksi dengan lingkungan sekitar. Robot Binatang (Animal Robot) merupakan salah satu hasil penelitian yang dapat digunakan untuk pasien demensia dalam interaksi, komunikasi dan kepercayaan diri pada pasien demensia.
Robot Binatang (Animal Robot) tak ubahnya seperti binatang aslinya, salah satu contoh robot binatang yang sudah diproduksi adalah Robot Kucing dari Jepang dan Robot Anjing dari Inggris. Robot-robot ini melakukan perannya sama halnya seperti pada binatang aslinya. Salah satu pasien dengan demensia dapat berinteraksi dengan komunikasi melalui belaian dan suara yang dihasilkan dari robot tersebut, sehingga dapat membantu meningkatkan komunikasi, kesenangan, dan kesejahteraan mereka.

Kajian Literarur
Demensia adalah suatu sindroma penurunan intelektual progresif yang menyebabkan deteriorasi kognitif dan fungsional, sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan, dan aktivitas sehari-hari. Dalam pemahaman juga mundur seperti hilangnya kemampuan untuk memahami pembicaraan yang cepat, percakapan yang kompleks atau sbtrak, dan humor yang sarkastis atau sindiran. Dalam kemampuan bahasa dan bicara terjadi kemunduran pula yaitu kehilangan ide apa yang sedang dibicaakan, kehilangan kemampuan pemrosesan bahasa secara cepat, dan kehilangan kemampuan penamaan dengan cepat. Dalam bidang komunikasi sosial akan terjadi kehilangan kemampuan untuk tetap berbicara dalam topik, mudha tersinggung, marah, pembicaraan bisa menjadi kasar dan terkesan tidak sopan (Erkinjuntti, Gauthier, 2002).
Istilah robot yang di dahulu kala disebut robota, tak lain adalah kata lain dari seorang buruh. Robot adalah sarana untuk membangun peradaban yang lebih maju dan memberikan kemudahan bagi manusia sebagai penciptanya. Manfaat terapeutik dari memelihara hewan peliharaan di rumah sudah diakui lama. Namun, untuk beberapa rumah perawatan, menampung hewan peliharaan sendiri, memiliki hewan peliharaan pengunjung atau memiliki binatang peliharaan secara permanen tinggal di rumah perawatan tidak praktis, baik karena tanggung jawab, perhatian, ataupun potensial risiko infeksi (Brodie Et all, 2002).
Robot binatang (Animal Robot) diciptakan terinspirasi dari hal diatas. Robot Binatang yang pertama kali diciptakan adalah Robot Kucing yang diciptakan oleh Negara Jepang dan Robot Anjing dari Negara Inggris. Hewan-hewan ini terlihat menarik, tidak hanya untuk beberapa warga dan staf, tetapi junga mengunjungi kerabat, termasuk anak-anak. Pada saat hewan diminta rasa ingin tahu dan percakapan menjembatani kesenjangan antara berbagai generasi. Bollans (2006) menjelaskan berbagai manfaat tapi yang paling nyata adalah dalam hal perawatan di rumah dapat meningkatkan kepercayaan diri dan percakapan antara pasien demensia.
Sejumlah penderita demensia didorong untuk berinteraksi dengan Robot Kucing. Pada studi kasus 1, robot kucing didekatkan kepada empat atau lima orang demensia yang sedang duduk di ruang tunggu setelah makan siang. Tiga pertama yang memiliki demensia maju dan bahasa sedikit atau tidak, tidak ingin melihat kucing atau terlibat dengan cara apapun.
Demensia berikutnya, Lucinda (nama samaran) muncul tertarik, dan duduk dengan kucing di lututnya. Ia membelai dan meremas kakinya untuk membuat kucing itu mengeluarkan suara (meong). Menggelitik bagian belakang lehernya, membuatnya angkat kaki dan pada saat itu Lucinda berbicara responsif kepada kucing.
Kemudian perawat duduk di sebelahnya dan berusaha untuk meningkatkan kepercayaan dirinya dengan tindakan itu. Setelah beberapa waktu, perawat bertanya apakah dia ingin tetap kucing tersebut berada di lututnya. Dia mengatakan tidak menginginkan lagi dan bertanya apakah kucing itu akan menggigitnya. Karena itu robot tentu saja tidak akan digigitnya, sehingga ia bertahan terhadap kucingnya.
Ketika diobservasi kembali ternyata wanita itu masih berbicara dan membelai kucing dan mendorong wanita yang lain di sampingnya untuk melakukan hal yang sama. Seolah-olah kucing itu bertindak sebagai katalis untuk mengembangkan komunikasi antara dua wanita yang tidak biasanya berbicara atau sama lain. Beberapa penduduk pada tahap tertentu dalam proses penyakit mereka tidak dapat mudah membedakan antara heawan peliharaan dan robot nyata, tetapi wanita-wanita demensia tersebut dapat menikmati Robot Kucing tersebut.

Gambar 1 : Robot Kucing


Gambar 2 : Robot Anjing melakukan tindakan melalui sembilan sensor dan dapat mematuhi enam perintah yang berbeda
Pada studi kasus 2, robot anjing dia cukup berat dan lebih rumit untuk melakukan tetapi melakukan berbagai tindakan dengan menggunakan sembilan sensor. Ia memiliki sensor sentuh dan cahaya yang memungkinkan dia untuk membuat suara anjing, menggeleng dan mengangkat kaki depannya, atau hal lainnya. Suara sensor memungkinkan dia untuk mematuhi enam perintah yang berbeda. Seperti contoh ketika diajak berinteraksi apakah Robot Anjing ingin memakan tulang karet? Robot Anjing itu membuka mulutnya dan memakan tulang karet tersebut. Hal ini memudahkan para penderita demensia untuk mengekspresikan keinginannya.
Keuntungan menggunakan robot hewan peliharaan, meskipun sebagai pengganti binatang hidup adalah perawatan minimal, bulu tidak mempengaruhipenduduk dengan alergi, dan secara signifikan lebih baik daripada tidak melakukan apapun. Para robot telah bertindak sebagai katalis dalam meningkatkan komunikasi dan telah menikmati sehingga mengembangkan kesejahteraan psikologis yang lebih baik (Wada, 2004).
Kerugian dari robot ini adalah konsumtif baterai sehingga sangat disarankan menggunakan baterai yang dapat diisi ulang. Akses saklar on dan off pada perut robot sangat sulit pada penederita rematik jari, sehingga diperlukan bantuan. Penggunaan robot dalam pengaturan kesehatan yang beragam dapat semakin menjadi ciri abad ke-21. Hewan peliharaan robot dapat menjadi pengganti yang cocok untuk hewan peliharaan hidup yang dapat meningkatkan komunikasi dan kepercayaan pada penderita demensia.

Kesimpulan
Demensia merupakan salah satu penyakit yang dapat menghilangkan minat dan inisiatif yaitu dengan membuat pasien demensia mengalami penurunan interaksi dengan lingkungan  sekitar. Salah satu cara meningkatkan interaksi pada penderita demensia adalah dengan komunikasi. Stimulus komunikasi dapat diberikan dari stimulus internal dan eksternal.
Pada beberapa pasien demensia kebanyakan rangsangan diberikan dari eksternal, salah satunya dapat diberikan dari hewan peliharaan. Hewan peliharaan dapat diberikan dengan tujuan membuat penderita demensia tertarik untuk membelai, bahkan komunikasi sesuai dengan tingkah laku dari hewan tersebut. Efek samping dari hewan peliharaan yang sebenarnya adalah risiko infeksi bulu ataupun fesesnya, dan risiko gigitan ketika binatang merasa tidak nyaman. Sehingga diciptakanlah Robot Binatang (Animal Robot) yang merupakan salah satu hasil penelitian yang dapat digunakan untuk penderita demensia dalam interaksi, komunikasi, dan kepercayaan diri pada pasien demensia.
Robot Binatang (Animal Robot) yang pertama kali diciptakan adalah Robot jenis hewan peliharaan kucing dan anjing. Kedua robot ini dapat berinteraksi dengan para penderita demensia sesuai dengan apa yang dilakukan. Untuk Robot Anjing memiliki sembilan sensor yang dapat melakukan enam perintah yang dilakukan.
Melihat efek samping yang minimalis pada robot binatang ini, maka dapat disarankan untuk digunakan pada beberapa pemberian asuhan keperawatan dengan pasien yang mengalami hambatan komunikasi atau pun kerusakan interaksi sosial yang dapat diterapkan di rumah tangga sehingga Robot Binatang ini dapat sebagai katalisator untuk dapat menstimulus komunikasi dan kepercayaan diri pada klien.


DAFTAR PUSTAKA


Avianto, Tiyo. (2010). Trik membuat website  dan blog menjadi no. 1 di Google. Jakarta: Media Kita.

Banks MR, Banks WA. (2002). The effect of animal assited theraphy on loneliness in a elderly population in long term care facilities. J. Gerontol A Biol Sci Med (57) 7: M428-32.

Bollans, S. (2006). Animal assisted theraphy and aclirities for the treatment of stroke patients. Oxon: Society for Companion Animal Studies (SCAS).

Budihartono, Widodo. (2007). Belajar sendiri membuat robot cerdas: Panduan utama untuk mengikuti kontes robot. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Brodie SJ, Et all. (2002).  An exploration of the potential risk associated with using pet theraphy in healthcare setting. J Clin Nurs 11 (4): 444-456.

Campbell, Anne. (2011). Dementia Care : Could Animal Robots Benefit Residents. Nursing & Residential Care. http://web.ebscohost.com Didownload tanggal 15 Juni 2013 jam 23.00 WIB.

Rubenstein, David, Et all. (2007). Kedokteran Klinis. Ed.6. Jakarta: Penerbit  Erlangga.

Rose, Joan Fox. (2012). Robotic Theraphy. Healthcare Travelerhttp://web.ebscohost.com. Didownload tanggal 16 Mei 2013 jam 06.55 WIB.

Wada K .Shibata T, Saito T, Tanie K. (2004).  Effects of robot-assisted activity for elderly people and nurses at a day service center. Proceedings of the IEEE  92 (11) 1- 18.

Artikel Ilmiah Keperawatan

Peran Perawat dalam Tele-ICU Sebagai Upaya Meningkatkan Pelayanan Keperawatan di ICU

Oleh :

Muhammad Rozikhin
201233040


ABSTRAK

Tele-ICU bertujuan untuk meningkatkan stadndar keperawatan di ICU yang tujuan akhirnya meningkatkan kesejahteraan pasien. Peningkatan standar dilakukan dengan observasi keadaan pasien dan monitoring kinerja perawat ICU yang merupakan bagian dari supervisi. Tele-ICU berperan meningkatkan peran perawat untuk profesi perawat sendiri dan profesi lain dalam bentuk kolaborasi. Tele-ICU merupakan teknologi baru sehingga perlu dikaji, termasuk pengembangannya model staffing, isu-isu yang terintegrasi, kemampun terhadap integrasi keperawatan, dan minat dari area lain. Peran perawat tidak bisa diabaikan karena berperan dari sebagai pengguna sampai pengembangan Tele-ICU.
Kata Kunci : Tele-ICU, ICU, dan Peran Perawat

Latar Belakang
Intensive Care Unit (ICU) merupakan ruang perawatan dengan tingkat risiko kematian pasien yang tinggi. Tindakan keperawatan yang cepat dan tepat sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan pasien. Pengambilan keputusan yang cepat ditunjang data yang merupakan hasil observasi dan monitoring yang berkelanjutan oleh perawat. Tingkat kesibukan dan standar keperawatan yang tinggi membutuhkan peralatan teknologi tinggi yang menunjang. Peralatan yang ditemukan di ICU antara lain  bed side monitor, oksimetri, ventilator, dan lain-lain yang jarang ditemukan di ruangan lain dan peralatan tersebut ditunjang oleh teknologi tinggi.
Inovasi teknologi tetap dibutuhkan dengan tujuan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan di ICU seiring dengan bertambahnya kompleksitas masalah di ICU. Tele-ICU sudah digunakan 25 tahun yang lalu dengan metode remote telemedicine pada 395 pasien di ICU yang terapat pada 100 bed di rumah sakit tersebut. Proyek tersebut menunjukkan bahwa Tele-ICU consultation memiliki keuntungan klinis yang lebih besar seperti mengurangi lama hari rawat (lenght of stay), meningkatkan pengelolaan dan transfer pasien trauma, dan meningkatkan konsultasi untuk pasien kritis.
Pada tahun 2000, Sentara Health-care mengimplementasikan multiside telemedia program. Saat 1 tahun setelah implementasi dilaporkan bahwa terjadi penurunan mortalitas sebanyak 27%. Saat ini diestimasikan bahwa 45 sampai 50 program Tele-ICU telah mendukung beberapa ICU.
Tema Tele-ICU, Virtual ICU, Remote ICU, dan eICU semuanya mengacu pada konsep yang sama, yaitu merupakan sentralisasi atau pengendalian berdasarkan tim perawatan kritis dengan menggunakan networking pada bedside ICU tim dan pasien baik melalui audiovisual maupun sistem komputer. Tim Tele-ICU dapat mendukung kelangsungan hidup dan mendukung sebagian besar pasien di ICU walaupun dipisahkan secara geografis dari berbagai rumah sakit.
Penggunaan Tele-ICU merupakan aplikasi dari 4 solusi topik ICU, yang menurut Needham (2010) terdiri dari isu alamiah mengenai medis dan lebih spesifik berkaitan dengan perawatan kritis, menggunakan pengetahuan sebagai usaha meningkatkan patient safety, berfokus pada proyek perpindahan pengetahuan, dan model perpindahan pengetahuan praktik klinik.

Kajian Literatur
Terpapar lingkungan ICU yang harus terus menerus bagi perawat yang akan menyebabkan distraksi, kelelahan, dan kehilangan konsentrasi yang meningkatkan tingkat kesalahan yang membahayakan keselamatan pasien. Kadangkala perawat di ICU tidak hanya mengelola satu pasien, tetapi pasien lain juga membutuhkan perhatian yang tinggi dan segera. Perawatan darurat membutuhkan perpindahan yang cepat dimana membutuhkan peralatan yang memberikan informasi untuk merencanakan perkembangan pasien, desain proses keperawatan, dan lingkungan fisik dimana membutuhkan cara yang berbeda dibandingkan metode tradisional (Feied C. Et all, 2004).
Perawat selalu menggunakan alat telekomunikasi dalam perawatan kesehatan sejak masih menggunakan telepon. Perawat menggunakan peralatan untuk manajemen kasus, pendidikan pasien, dan intervensi krisis (Tschirch P. Et all, 2006). Informasi dalam keadaan darurat membutuhkan proses seperti kreasi, akuisisi, retrieval, filter, dan organisasi yang secara otomatis ditampilkan dalam kondisi klinis yang tepat, dan waktu yang tepat (Snooks, A Et all, 2009).
Teknologi sistem informasi terbaru yang digunakan di ICU adalah Tele-ICU. Definisi dari ”tele” mengandung berbagai makna seperti tele-health, tele-nursing, atau tele-medicine, tetapi secara konsep sama. Tele-medicine didefinisikan sebagai perangkat peralatan yang digunakan untuk informasi medis via komunikasi elektronik untuk meningkatkan status kesehatan dan bukan merupakan suatu pendekatan perawatan pasien (Goran, 2010).
Tele-health merupakan teknologi yang menggunakan peralatan komunikasi yang dikembangkan secar ahli di bidang medis, kualitas tinggi, komunikasi audiovisual dua arah yang memungkinkan antara provider dan pasien (Pickett Et all, 2007). Tele-nursing digambarkan sebagai penggunaan teknologi komunikasi oleh perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan untuk meningkatkan status kesehatan pasien (Ernesaster A. Et all, 2009).
Tele-ICU merupaka suatu  second-eye yang mendukung kelangsungan klinis. Tele-ICU dengan kolaborasi tim perawatan ICU (baik perawat maupun dokter) akan mendukung perawatan tanpa idstraksi dan mampu melakukan intervensi dimana hitungan menit akan membawa perubahan. Tujuan sistem ini tidak menggantikan perawat klinis yang bertugas di sisi pasien (bedside team) tetapi untuk meningkatkan standarisasi asuhan keperawatan. Goran (2010) menjelaskan bahwa desan  Tele-ICU merupakan implikasi dari Telemedicine Technology  dalam perawatan pasien ICU.
Platform teknologi terdiri dari berbagai vendor, komponen hardware yang spesifik dan software serta gabungan antara Tele-ICU dan tim perawatan. Tim Tele-ICU membutuhkan akses yang sama dengan tim perawatan untuk berbagai elemen data yang berhubungan dengan pasien (seperti: Tanda-tanda vital, hasil laboratorium, radiologi, terapi, dan lain-lain) untuk mendapatkan status pasien yang akurat dan identifikasi yang aktual maupun potensial berkaitan dengan isu-isu perawatan pasien.
Sophisticated Alert System (SAS) memberitakan perubahan kondisi pasien dengan tujuan memberikan intervensi dan tindakan preventif sesegera mungkin dalam menghadapi periode kritis pasien. Kamera reolusi tinggi, mikrofon, dan speaker dipasang pada setiap ruang ICU pasien (gambar 1), penyediaan Tele-ICU 1 arah atau 2 arah yang memiliki kemampuan mengkasi secara video atau audio dan komunikasi secara bedside dengan tim perawatan. VISICU vendor (gambar 2) digunakan pada ruangan dan merupakan tombol yang bertujuan untuk aktivasi Tele-ICU apabila diinginkan oleh tim perawatan. Teknologi Tele-ICU bersifat komplek dengan desain yang bertujuan meningkatkan efektifitas dan efisiensi.

Gambar 1 : Sophisticated Alert System (SAS)

Gambar 2 : VISICU Vendor

Gambar 3 : Workstation Tele-ICU

Variasi ditemukan dalam program Tele-ICU dari seleksi vendor atau tujuan programnya sampai kinerjanya, tetapi sama dalam pengkajian pasien dan tampilan virtual. Komponen teknik Tele-ICU menurut Goran (2010) terdiri dari bedside waveform alert system, peralatan audio atau video, clinical information, dan network.
Bedside waveform merupakan monitor sentral ICU yang menampilakn data pada bedside monitor. Tele-ICU juga menampilkan alarm, staff Tele-ICU memungkinkan untuk mengubah atau mengganti berbagai parameter alarm bedside.
Alert System adalah Tele-ICU software yang disediakan guna mendukung kelangsungan dan otomatisasi peralatan untuk membantu mengatur identifikasi perubahan berdasarkan respon pasien terhadap kodisinya. Sistem ini merupakan mesin untuk mengevaluasi bedside  monitor, laboratorium, medikasi, dan data lain, dimana dimasukkan pada software sistem informasi klinis untuk memberikan tanda diberikannya intervensi segera dan setiap pasien memiliki sistem yang individualistik (berbeda).
Peralatan Audio atau Video berperan sebagai mata dan telinga tim Tele-ICU. Kamera dengan resolusi tinggi didukung speaker memungkinkan tim  Tele-ICU dapat berkomuikasi dengan perawat dan memberikan saran setelah melihat tindakan, kondisi pasien, dan diskusi dengan pasien maupun perawat. Clinical Information merupakan status pasien hasil dari pengkajian yang sesuai standar yang telah ditetapkan. Network  merupakan sarana transmisi dari semua informasi yang ada di ICU.
Teknologi Tele-ICU bersifat relatif dari satu sistem terhadap sistem lain, program staffing diperlukan untuk kebutuhan rumah sakit yang menjalankan sistem yang membutuhkan sumber daya. Typical Tele-ICU beroperasi selama 24 jam setiap hari, 7 hari dalam seminggu, dan saat staff intensive care bisa membutuhkan kontak dengan intensitivist selama 15 hingga 20 jam setiap hari. Beberapa program intensitivist hanya aktif bekerja saat dokter tidak ada walaupun ­on-call. Replacement of Tele-ICU Registered Nurses (eRNs) merupakan level menengah seperti praktisi perawat atau asisten dokter adalah pilihan atau pendapat lain dari model (VISICU Operation Director, Oral Communication, and Monthly Teleconference).
Rata-rata rasio adalah 60 sampai 125 pasien untuk 1 Tele-Intensivist (dokter), 30 hingga 40 pasien untuk 1 eRNs, dan 50 sampai 124 pasien untuk Clerrical Assistant (Goran, 2010). Kolektif Tele-ICU meningkatkan pengalaman dimana pola harus diidentifikasi dengan spesifik untuk efisiensi model dan proses. Dokter Tele-ICU atau Intensivist, terhormat, dan berperan dalam pengembangan rumah sakit. Dokter memberikan pelayanan dengan segera berbasis patient safety. Beberapa program menggunakan metode full-time sementarasebagian besar dengan menggunakan jadwal rotasi.
Staff lain Tele-ICU terdiri dari staff pendukung yang berperan sebagai entry data, manajemen telepon, dan monitoring kualitas. Staff pendukung terdiri dari berbagai macam latar belakang seperti pengalaman sebagai sekretaris, asisten perawat, atau mahasiswa perawat yang bekerja secara part-time. Tele-ICU juga didukung personel untuk pemeliharaan yang menguasai sistem informasi baik software, hardware, maupun networking.
Tele-ICU RN (eRNs) selalu memonitor pasien ICU selama 24 jam setiap hari, 7 hari dalam seminggu. Pusat Tele-ICU memiliki staff dengan pengalaman lebih dari 15 tahun dengan berpengalaman mengelola pasien pada unit perawatan kritis. Beberapa eRNs menunjukkan minat terhadap Tele-ICU secara berarti fisik maupun emosional saat perawatan secara full-time. eRNs memiliki beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk posisi tersebut.
Tele-ICU RN (eRNs) harus memenuhi syarat : Pengalaman 5 tahun berada di ICU, bersertifikat CCRN atau CCRN-E atau yang telah ditentukan seperti Basic Life Support atau Cardiac Life Support, memiliki gelar Sarjana Keperawatan, serta memiliki jiwa kepemimpinan termasuk kemampuan berkomunikasi.
Komputer dan keterampilan mengatasi gelombang kerja membutuhkan orientasi dan pengalaman, tetapi kurangnya komunikasi dan keterampilan Costumer Service dapat menghambat produktivitas dari kerja untuk pencapaian tujuan program. Seperti staff medis, eRNs memiliki banyak variasi program. Beberapa Tele-ICU memang ditunnjukkan untuk eRNs yang mengandung kombinasi dari dedikasi dan pembagian posisi. Pembagian posisi staff dimana staff memiliki posisi kedua dalam Tele-ICU dan posisi utama di ICU dan hanya didedikasikan untuk bekerja di Tele-ICU.
Program dengan posisi dedikasi dimana eRNs secara penuh di Tel-ICU sehingga lebih mudah dalam mengatur jadwal, evaluasi, dan identifikasi isu serta kontribusi untuk stabilitas tim dan kepuasan staff. Staff ICU selalu konsen tentang kemampuan eRNs untuk menjaga kompetensi klinis saat tidak melakukan perawatan pasien. Sebagai peran dalam tim, eRNs seharusnya berpartisipasi dalam proses interview, seleksi, dan orientasi staff.
Definisi yang baru tentang penyedia pelayanan keperawatan harus dikembangkan dan diterima untuk kepuasan staff Tele-ICU. Orientasi selalu fokus tidak hanya mengenai pengaturan software dan teknologi Tele-ICU, tetapi tentang strategi yang mempengaruhi identifikasi Tele-ICU. Standar kompetensi Tele-ICU ditentukan via konsensus dari berbagai program Tele-ICU, tetapi masih harus divalidasi melalui proses penelitian.Peran eRNs untuk asuhan keperawatan berkaitan dengan superisi terhadap perawat ICU melalui observasi maupun ronde.
Keuntungan Tele-ICU tidak terbatas pada waktu, ruang, dan tempat sebagai fungsi supervisi. Supervisi didefinisikan sebagai pengawasan dari atasan kepada bawahan dan dapat memberikan bantuan apabila dibutuhkan. Bantuan yang diberikan tidak harus bersifat langsung melakukan tindakan keperawatan tetapi lebih bersifat konsultasi melalui forum diskusi. Supervisi tidak hanya berperan sebagai saran pengawasan dalam rangka meningkatkan standar asuhan keperawatan di ICU, tetapi juga sebagai sarana pembelajaran yang bersifat networking. Sarana pembelajaran jaringan (networking) yang berfokus pada koneksi antara peserta pembelajaran, baik peserta dan tutor, maupun materi pembelajaran (Jones Et all, 2008).
Tele-ICU dapat digunakan sebagai ronde dengan tim kesehatan yang lain sebagai upaya diskusi, kolaborasi, dan konsultasi. Peran dapat berupa diskusi dan konsultasi untuk pengambilan keputusan, walaupun berpeluang menimbulkan stres (Snooks, H.A. Et all, 2007). Ronde yang dimaksud bersifat virtual ronde yang dilakukan secara rutin dengan melibatkan dokter dan perawat eRNs dengan frekuensi tergantung kebutuhan pasien.
Kamera digunakan selama 30 menit untuk pengkajian Tele-ICU yang dimulai di awal shift atas permintaan tim ICU untuk mengidentifikasi perubahan kondisi pasien. Status pasien meliputi tanda-tanda vital dari 1 hingga 4 jam terakhir, konfigurasi waveform pasien berkaitan dengan alarm, hasil laboratorium terbaru, dokumentasi keperawatan, rencana keperawatan terbaru, serta pemeriksaan penunjang lain seperti radiologi dan diagnostik.
Realitas lingkungan Tele-ICU selalu berbeda dibandingkan yang dibayangkan sehingga memerlukan pengembangan dengan memperhatikan berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut dengan mengadopsi faktor-faktor pada telenursing. Faktor-faktor yang mempengaruhi telenursing meliputi aspek sistem, ekonomi, sosial, teknik. Faktor kritis pada tiap aspek meliputi dukungan pemerintah dengan kontrol regulasi terhadap isu-isu, verifikasi berkaitan dengan cost effective perawatan kesehatan, verifikasi nilai telenursing dengan konsultasi, membangun kepercayaan sosial, dan perkembangan karakteristik telenursing dimana memperhatikan kemampuan konsumen untuk membayar (Yun dan Park, 2006).
Strategi dalam perencanaan diperlukan untuk pengembangan Tele-ICUm strategi pengembangan Tele-ICU menurut Goran (2010) antara lain:
1.      Bagi Tele-ICU saat rapat staff.
2.      Kunjungi tempat-tempat yang jauh.
3.      Hubungi staff secara formal.
4.      Adakan pertemuan antara staff Tele-ICU dengan staff ICU untuk membahas masalah yang potensial dan solusinya.
5.      Orientasikan program Tele-ICU.
6.      Buat laporan berkala.
7.      Bagi kesempatan untuk peluang pendidikan yang berkseinambungan.
8.      Bagi kesempatan berlibur.
9.      Tentukan program yang menunjukkan kesempurnaan Tele-ICU.
10.  Pertemuan reguler antara pimpinan Tele-ICU dan ICU.
11.  Bikin proyek penelitian yang berhubungan dengan partisipasi Tele-ICU.

Pengembangan Tele-ICU membutuhkan peran perawat profesional yang memiliki ideologi dalam justifikasi perkembangan teknologi dalam posisi yang berbeda, dimana perawat dapat beradaptasi, memainkan perannya, dan membutuhkan teknologi baru untuk meningkatkan jumlah pengelolaan pasien secara efisien. Tele-ICU merupakan bagia dari Tele-nursing yang mempunyai peluang untuk meningkatkan dan akuisisi serta perkembangan keterampilan dimana dapat memainkan perannya dengan tenaga medis secara lebih mudah di tangan perawat dengan karakter yang inovatif.

Kesimpulan
Tujuan dari Tele-ICU bukan untuk menggantikan peran perawat ICU tetapi lebih pada peningkatan standarisasi berbasis patient safety. Tele-ICU berpera sebagai second-eye dan second opinion untuk mempercepat pemberian asuhan keperawatan di ICU. Tele-ICU meningkatkan peran perawat bagi profesi perawat maupun profesi lain sebagai bagian dari kolaborasi.
Tele-ICU merupakan teknologi baru dan belum ditemukan penelitan untuk memperkuat penggunaannya di ICU, sehingga diperlukan penelitian  Tele-ICU yang berkaitan dengan aspek keterampilan klinis dan manajemen dalam pelayanan keperawatan.

DAFTAR PUSTAKA


Ernesater, A. Et all. (2009). Telenurses’ Experience of Working with Computerized Decision Support: Supporting, Inhibiting, and Quality Improving. Journal of Advance Nursing, 65, 1074-1083.

Feied, C. F. Et all. (2004). Impact of Informatic and New Technologies on Emergency Care Environment. Topics in Emergency Medicine, 26, 119-127.

Goran, S. F. (2010). A Second Set of Eyes: An Introduction to Tele-ICU. Critical Care Nurse, 30, 46-55.

Jones, C.R. Et all. (2008). Networking Learning a Relational Approach Weak and Strong Ties. Journal of Computer Assisted Learning, 24, 90-102.

Needham, M.D. (2010). Patient Safety, Quality of Care, and Knowledge Translation in the Intensive Care Unit. Respiratory Care, 55, 922-928.

Pickett, T.C. Et all. (2007). Telehealth and Constraint-Induced Movement Therapy (CIMT) : An Intensive Case Study Approach. Clinical Gerontologist, 31, 5-20.

Snooks, H.A. Et all. (2008). Real Nursing? The development of Telenursing. Journal of Advance Nursing, 61, 631-640.

Tschirch, P. Et all. (2006). Nursing in Tele-Mental Health. Journal of Psychosocial Nursing, 44, 20-27.

Yun, K.E., Park H.E. (2006). Factors Affecting the Implementation of Tele Nursing in Korea. IOS Press.

Sabtu, 01 Juni 2013


Keperawatan Transkultural
Keperawatan transkultural merupakan suatu arah utama dalam keperawatan yang berfokus pada studi komparatif dan analisis tentang budaya dan sub budaya yang berbeda di dunia yang menghargai perilaku caring, layanan keperawatan, niai-nilai, keyakinan tentang sehat sakit, serta pola-pola tingkah laku yang bertujuan mengembangkan body of knowladge yang ilmiah dan humanistik guna memberi tempat praktik keperawatan pada budaya tertentu dan budaya universal (Marriner-Tomey, 1994). Teori keperawatan transkultural ini menekankan pentingnya peran keperawatan dalam memahami budaya klien.

Teori Keperawatan Transkultural Sunrise
Teori keperawatan transkultural matahari terbit, sehinnga disebut juga sebagai sunrise model. Matahari terbit (sunrise model ) ini melambangkan esensi keperawatan dalam transkultural yang menjelaskan bahwa sebelum memberikan asuhan keperawatan kepada klien (individu, keluarga, kelompok, komunitas, lembaga), perawat terlebih dahulu harus mempunyai pengetahuan mengenai pandangan dunia (worldview) tentang dimensi dan budaya serta struktur sosial yang, bersyarat dalam lingkungan yang sempit.
Dimensi budaya dan struktur sosial tersebut menurut Leininger dipengaruhi oleh 7 faktor, yaitu teknologi, agama dan  falsafah hidup, faktor sosial, faktor politik, faktor ekonomi, faktor pendidikan dan kekerabatan.

Peran perawatan pada transcultural nursing teory ini adalah menjebatani antara sistem perawatan yang dilakukan masyarakat awam dengan sistem perawatan prosfesional melalui asuhan keperawatan. Eksistensi peran perawat tersebut digambarkan oleh Leininger. Oleh karena itu, perawat harus mampu membuat keputusan dan rencana tindakan keperawatan yang akan diberikan kepada masyarakat. Jika disesuaikan dengan proses keperawatan, hal tersebut merupakan tahap perencanaan tindakan keperawatan.

Di bawah ini adalah ringkasan dasar prinsip yang penting untuk memahami teori Leininger :
1.      Care adalah untuk membantu orang lain dengan kebutuhan nyata atau diantisipasi dalam upaya untuk memperbaiki kondisi manusia yang menjadi perhatian atau untuk menghadapi kematian.
2.      Merawat adalah tindakan atau kegiatan diarahkan memberikan perawatan.
3.      Budaya : Mengacu pada belajar, berbagi, dan dipancarkan nilai-nilai, keyakinan, norma, dan kehidupan dari individu tertentu atau kelompok yang membimbing mereka berpikir, keputusan, tindakan, dan cara berpola hidup.
4.      Perawatan Budaya : Mengacu pada beberapa aspek budaya yang mempengaruhi seseorang atau kelompok untuk meningkatkan kondisi manusia atau untuk menangani penyakit atau kematian.
5.      Keragaman Budaya : Peduli merujuk pada perbedaan dalam makna, nilai, pantas tidaknya perawatan di dalam atau di antara kelompok-kelompok orang yang berbeda.

6.      Universalitas :  Peduli Budaya mengacu pada perawatan umum atau arti serupa yang
jelas di antara banyak budaya.
7.      Keperawatan adalah profesi yang dipelajari dengan disiplin terfokus dengan perawatan fenomena.
8.      Worldview : Mengacu pada cara orang cenderung untuk melihat dunia atau alam semesta dalam menciptakan pandangan pribadi tentang hidup.
9.      Budaya dan Dimensi Struktur Sosial : Termasuk faktor yang berhubungan dengan agama, struktur sosial, politik / badan hukum, ekonomi, pola pendidikan, penggunaan teknologi, nilai-nilai budaya, dan ethnohistory yang berupa tanggapan budaya manusia dalam konteks budaya.
10.  Kesehatan : Mengacu pada keadaan kesejahteraan yang didefinisikan budaya dan dihargai oleh budaya yang ditunjuk.
11.  Pelestarian Budaya Perawatan atau Pemeliharaan : Mengacu pada kegiatan pelayanan keperawatan yang membantu orang dari budaya tertentu untuk menyimpan dan menggunakan inti kebudayaan nilai keperawatan terkait dengan masalah kesehatan atau kondisi.
12.  Budaya Akomodasi Perawatan atau Negosiasi : Merujuk kepada tindakan keperawatan kreatif yang membantu orang-orang dari budaya tertentu beradaptasi dengan atau bernegosiasi dengan lain dalam kesehatan masyarakat dalam upaya untuk mencapai tujuan bersama dari hasil kesehatan yang optimal untuk klien  dari budaya yang ditunjuk. 
13.  Budaya Perawatan Restrukturisasi : Mengacu pada tindakan terapi yang diambil oleh budaya perawat yang kompeten atau keluarga. Tindakan ini memungkinkan atau sebagai klien untuk mengubah perilaku kesehatan pribadi terhadap menguntungkan hasil sementara menghormati nilai-nilai budaya klien.


Tindakan keperawatan yang diberikan kepada klien harus tetap memperhatikan 3 prinsip asuhan keperawatan, yaitu :

1.      Culture care preservation/maintenanceyaitu prinsip membantu, memfasilitasi, atau memperhatikan fenomena budaya guna membantu individu menentukan tingkan kesehatan dan gaya hidup yang diinginkan.
2.      Culture care accommodation/negatiation, yaitu prisip membantu, memfasilitasi, atau memperhatikan fenomena budaya, yang merefleksikan cara-cara untuk beradaptasi, atau bernegosiasi atau mempertimbangkan kondisi kesehatan dan gaya hidup individu atau klien.
3.      Culture care repatterning/restructuring, yaitu prinsip merekonstruksi atau mengubah desain untuk membantu memperbaiki kondisi kesehatan dan pola hidup klien ke arah lebih baik.


Konsep dalam Transkultural

1.      Budaya         
Adalah norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yang dipelajari, dan dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak dan mengambil keputusan.

2.      Nilai Budaya
Adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan atau sesuatu tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan melandasi tindakan dan keputusan.

3.      Perbedaan Budaya
Dalam asuhan keperawatan merupakan bentuk yang optimal dari pemberian asuhan keperawatan, mengacu pada kemungkinan variasi pendekatan keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan budaya yang menghargai nilai budaya individu, kepercayaan dan tindakan termasuk kepekaan terhadap lingkungan dari individu yang datang dan individu yang mungkin kembali lagi (Leininger, 1985).

4.      Etnosentris
Diantara budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain. Etnosentris adalah persepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggap bahwa budayanya adalah yang terbaik.

5.      Etnis
Berkaitan dengan manusia dari ras tertentu atau kelompok budaya yang digolongkan menurut ciri-ciri dan kebiasaan yang lazim.

6.      Ras
Adalah perbedaan macam-macam manusia didasarkan pada mendiskreditkan asal muasal manusia.


7.      Etnografi
Adalah ilmu yang mempelajari budaya. Pendekatan metodologi pada penelitian etnografi memungkinkan perawat untuk mengembangkan kesadaran yang tinggi pada perbedaan budaya setiap individu, menjelaskan dasar observasi untuk mempelajari lingkungan dan orang-orang, dan saling memberikan timbal balik diantara keduanya.


8.      Care
Adalah fenomena yang berhubungan dengan bimbingan, bantuan, dukungan perilaku pada individu, keluarga, kelompok dengan adanya kejadian untuk memenuhi kebutuhan baik actual maupun potensial untuk meningkatkan kondisi dan kualitas kehidupan manusia.

9.      Caring
Adalah tindakan langsung yang diarahkan untuk membimbing, mendukung dan mengarahkan individu, keluarga atau kelompok pada keadaan yang nyata atau antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi kehidupan manusia.

10.  Cultural Care
Berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai,kepercayaan dan pola ekspresi yang digunakan untuk mebimbing, mendukung atau memberi kesempatan individu, keluarga atau kelompok untuk mempertahankan kesehatan, sehat, berkembang dan bertahan hidup, hidup dalam keterbatasan dan mencapai kematian dengan damai.

11.  Cultural Imposition
Berkenaan dengan kecenderungan tenaga kesehatan untuk memaksakan kepercayaan, praktik dan nilai diatas budaya orang lainkarena percaya bahwa ide yang dimiliki oleh perawat lebih tinggi daripada kelompok lain.


Leininger (1985) mengartikan paradigma keperawatan transkultural sebagai cara pandang, keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap empat konsep sentral keperawatan, yaitu :

1. Manusia
2. Sehat
3. Lingkungan
4. Keperawatan


Proses keperawatan Transkultural
Model konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan asuhan keperawatan dalam konteks budaya digambarkan dalam bentuk matahari terbit (Sunrise Model).

Pengkajian

Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada pada “Sunrise Model” yaitu :

1. Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)
2. Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors)
3. Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
4. Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors)
5. Faktor ekonomi (economical factors)
6. Faktor pendidikan (educational factors)
7. Faktor teknologi (technology factors)

Diagnosa Keperawatan

Terdapat tiga diagnosa keperawatan yang sering ditegakkan dalam asuhan keperawatan transkultural yaitu :

1. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan perbedaan kultur.
2. Gangguan interaksi sosial berhubungan disorientasi sosiokultural.
3. Ketidak patuhan dalam pengobatan berhubungan dengan sistem nilai yang diyakini.

Perencanaan Keperawatan

Cultural care preservation/maintenance

1. Identifikasi perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang proses melahirkan dan     perawatan bayi.
2. Bersikap tenang dan tidak terburu-buru saat berinterkasi dengan klien.
3. Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat.

Cultural care accomodation/negotiation

1. Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh klien.
2. Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan.
3. Apabila konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana kesepakatan berdasarkan pengetahuan   biomedis, pandangan klien dan standar etik.

Cultural care repartening/reconstruction
1.Beri kesempatan pada klien untuk memahami informasi yang diberikan dan  melaksanakannya.
2. Tentukan tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budaya kelompok
3. Gunakan pihak ketiga bila perlu.
4. Terjemahkan terminologi gejala pasien ke dalam bahasa kesehatan yang dapat dipahami oleh klien dan keluarga.
5. Berikan informasi pada klien tentang sistem pelayanan kesehatan.

Evaluasi

           Evaluasi asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap keberhasilan klien tentang mempertahankan budaya yang sesuai dengan kesehatan, mengurangi budaya klien yang tidak sesuai dengan kesehatan atau beradaptasi dengan budaya baru yang mungkin sangat bertentangan dengan budaya yang dimiliki klien. Melalui evaluasi dapat diketahui asuhan keperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien.